Mengatasi Penyempitan Lahan Jakarta

15 September 2025

Jakarta dengan luas wilayah sekitar 661,5 km² kini menampung lebih dari 10 juta penduduk (BPS Jakarta, April 2024). Sebagai salah satu dari lima kota termacet di Indonesia (TomTom Traffics), ibu kota ini tetap menjadi magnet bagi masyarakat luar daerah untuk mencari peluang hidup. Namun, keterbatasan lahan yang tersedia tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan ruang seiring pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penyempitan lahan menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari tata kota yang semakin sulit diatur, memburuknya kondisi lingkungan, hingga menurunnya kualitas hidup masyarakat.

Selain faktor pertumbuhan penduduk, penyempitan lahan Jakarta juga dipicu oleh faktor alam, seperti banjir rob, abrasi, dan penurunan muka tanah. Alih fungsi lahan hijau atau pertanian menjadi kawasan permukiman dan komersial semakin memperparah kondisi tersebut. Tidak hanya itu, praktik spekulasi tanah oleh pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan pribadi turut memperburuk tantangan ketersediaan lahan di Jakarta.

Penyempitan lahan membawa berbagai dampak serius, mulai dari menurunnya kualitas hidup warga akibat permukiman yang semakin padat dan berkurangnya ruang terbuka hijau, hingga melonjaknya harga tanah serta properti yang membuat akses terhadap hunian layak semakin sulit. Kondisi ini juga memperumit pengendalian tata ruang kota karena ketersediaan lahan yang terbatas mendorong penggunaan ruang secara tidak teratur dan sering kali melanggar rencana tata kota. Selain itu, penyempitan lahan turut memperparah ancaman lingkungan, seperti meningkatnya polusi, banjir, dan berkurangnya resapan air, yang pada akhirnya menambah kerentanan kota terhadap krisis ekologis.

Penyempitan Lahan dan Peran Strategis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Penyempitan lahan bukan hanya persoalan fisik, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi mengingat pertumbuhan penduduk yang pesat, kebutuhan ruang untuk infrastruktur, serta tingginya aktivitas ekonomi yang kerap mendorong alih fungsi lahan secara masif. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada terbatasnya ruang terbuka hijau, tetapi juga memicu kenaikan harga tanah. Ketika penyempitan lahan menyebabkan kenaikan harga tanah yang semakin tidak terkendali, di sinilah peran strategis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi sangat penting. PBB dapat berfungsi sebagai instrumen pengendali agar tanah tidak hanya dijadikan objek spekulasi, tetapi benar-benar dimanfaatkan secara produktif. Selain itu, penerapan PBB yang adil dan proporsional dapat membantu menjaga keseimbangan antara kepentingan pemilik tanah, kebutuhan pembangunan, serta keberlanjutan tata ruang kota Jakarta.  Sebagai contoh wilayah Jakarta sendiri saat ini membedakan perhitungan dasar pengenaan pajak (DPP) untuk objek hunian dan Non Hunian (komersial) . Dimana dasar perhitungan PBB untuk jenis hunian hanya menggunakan sebesar 40% dari total NJOP dan untuk jenis non-hunian sebesar 60% dari total NJOP.

Manfaat PBB juga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat melalui pembangunan ruang publik dan fasilitas umum, seperti hadirnya berbagai taman kota yang asri serta transportasi umum yang nyaman dan terjangkau seperti Transjakarta. Selain itu, kebijakan PBB yang adaptif turut membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar tetap memiliki akses terhadap lahan.

Contohnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan insentif berupa pembebasan PBB 100% untuk rumah tapak dengan NJOP hingga Rp2 miliar, khusus bagi wajib pajak orang pribadi dan hanya berlaku untuk satu objek pajak (Kepgub Jakarta 281/2025).

Tidak hanya itu, warga Jakarta juga dapat menikmati keringanan pembayaran sebesar 5% apabila melunasi PBB sebelum 30 September 2025, yang sekaligus menjadi batas akhir jatuh tempo PBB-P2 tahun ini. Membayar PBB tepat waktu berarti ikut serta membangun kota bersama sekaligus berkontribusi dalam mewujudkan tata ruang Jakarta yang lebih adil, tertata, dan berkelanjutan.