Jakarta dengan luas wilayah sekitar 661,5 km² kini
menampung lebih dari 10 juta penduduk (BPS Jakarta, April 2024). Sebagai salah
satu dari lima kota termacet di Indonesia (TomTom Traffics), ibu kota ini tetap
menjadi magnet bagi masyarakat luar daerah untuk mencari peluang hidup. Namun,
keterbatasan lahan yang tersedia tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
ruang seiring pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penyempitan lahan menimbulkan
berbagai persoalan, mulai dari tata kota yang semakin sulit diatur, memburuknya
kondisi lingkungan, hingga menurunnya kualitas hidup masyarakat.
Selain faktor pertumbuhan penduduk, penyempitan
lahan Jakarta juga dipicu oleh faktor alam, seperti banjir rob, abrasi, dan
penurunan muka tanah. Alih fungsi lahan hijau atau pertanian menjadi kawasan
permukiman dan komersial semakin memperparah kondisi tersebut. Tidak hanya itu,
praktik spekulasi tanah oleh pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan
pribadi turut memperburuk tantangan ketersediaan lahan di Jakarta.
Penyempitan lahan membawa berbagai dampak serius,
mulai dari menurunnya kualitas hidup warga akibat permukiman yang semakin padat
dan berkurangnya ruang terbuka hijau, hingga melonjaknya harga tanah serta
properti yang membuat akses terhadap hunian layak semakin sulit. Kondisi ini
juga memperumit pengendalian tata ruang kota karena ketersediaan lahan yang
terbatas mendorong penggunaan ruang secara tidak teratur dan sering kali
melanggar rencana tata kota. Selain itu, penyempitan lahan turut memperparah ancaman
lingkungan, seperti meningkatnya polusi, banjir, dan berkurangnya resapan air,
yang pada akhirnya menambah kerentanan kota terhadap krisis ekologis.
Penyempitan Lahan dan Peran Strategis Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB)
Penyempitan lahan bukan hanya persoalan fisik,
tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi mengingat pertumbuhan
penduduk yang pesat, kebutuhan ruang untuk infrastruktur, serta tingginya
aktivitas ekonomi yang kerap mendorong alih fungsi lahan secara masif. Kondisi
ini tidak hanya berdampak pada terbatasnya ruang terbuka hijau, tetapi juga
memicu kenaikan harga tanah. Ketika penyempitan lahan menyebabkan kenaikan
harga tanah yang semakin tidak terkendali, di sinilah peran strategis Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi sangat penting. PBB dapat berfungsi sebagai
instrumen pengendali agar tanah tidak hanya dijadikan objek spekulasi, tetapi
benar-benar dimanfaatkan secara produktif. Selain itu, penerapan PBB yang adil
dan proporsional dapat membantu menjaga keseimbangan antara kepentingan pemilik
tanah, kebutuhan pembangunan, serta keberlanjutan tata ruang kota Jakarta. Sebagai contoh wilayah Jakarta sendiri saat
ini membedakan perhitungan dasar pengenaan pajak (DPP) untuk objek hunian dan
Non Hunian (komersial) . Dimana dasar perhitungan PBB untuk jenis hunian hanya
menggunakan sebesar 40% dari total NJOP dan untuk jenis non-hunian sebesar 60%
dari total NJOP.
Manfaat PBB juga dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat melalui pembangunan ruang publik dan fasilitas umum, seperti
hadirnya berbagai taman kota yang asri serta transportasi umum yang nyaman dan
terjangkau seperti Transjakarta. Selain itu, kebijakan PBB yang adaptif turut
membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar tetap memiliki akses terhadap
lahan.
Contohnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
memberikan insentif berupa pembebasan PBB 100% untuk rumah tapak dengan NJOP
hingga Rp2 miliar, khusus bagi wajib pajak orang pribadi dan hanya berlaku
untuk satu objek pajak (Kepgub Jakarta 281/2025).
Tidak hanya itu, warga Jakarta juga dapat menikmati
keringanan pembayaran sebesar 5% apabila melunasi PBB sebelum 30 September
2025, yang sekaligus menjadi batas akhir jatuh tempo PBB-P2 tahun ini. Membayar
PBB tepat waktu berarti ikut serta membangun kota bersama sekaligus
berkontribusi dalam mewujudkan tata ruang Jakarta yang lebih adil, tertata, dan
berkelanjutan.